Kalo dipikir-pikir saya ini sebenernya aslinya bukan orang yang kasar. Impulsif. Maksudnya nggak secara frontal ngata2in orang gitu. Kalo saya marah sama seseorang saya cenderung diam,
menghindar. Karena kalo saya ikutan emosi jadinya runyam. Saya bisa membanting atau melempar sesuatu kalo bener2 marah, boleh ditanyakan ke keluarga saya. Temen sebangku saya (yang berjenis kelamin perempuan) juga pernah saya tinju wajahnya karena saya sangat marah sama dia sampe2 dia nggak nyapa saya berminggu-minggu. Tapi yang paling saya sebel dari semua reaksi emosional saya adalah air mata saya mudah sekali menetes. Huoh, cengeng sekali. Saya sendiri malu lho punya sifat cengeng gini. Habis kalo ada apa-apa, sesuatu yang nggak enak diiikkkiiiiitt aja, pasti mata langsung berkaca-kaca, padahal q enggak mau nangis. Menyebalkan ya. Memalukan, memang. Seandainya saya bisa berubah. Bisa nggak sih dirubah?
Oleh karena itu resolusi saya adalah menjadi lebih kuat di tahun ini, to be stronger. Susah nggak ya? Nggak dooooong!!! Harus pede, optimis! Nggak boleh kalah ama godaan duniawi yang sesaat, harus kuat!!! Boleh jatoh, kepeleset, kesandung, ketatap, tapi harus bangun lagi dan lari lagi! Whatever doesn't kill you simply make u...stronger! Or.........stranger?
Sabtu, 13 Februari 2010
Jumat, 12 Februari 2010
saking bingungnya sampai2 saya tidak bisa mengungkapkannya pada orang lain, maka saya tumpahkan saja di sini.
Saya mulai sesak napas. Rasanya terlalu banyak hal yang berseliweran di otak saya. Tanggungjawab
saya, tugas saya, jati diri saya, identitas saya, hak saya. Mungkin terdengar terlalu duniawi, tapi
kenyataan bahwa saya harus mengingat dan melakukan sebuah agenda yang akan saya lakukan setiap
hari membuat saya bingung. Setiap saya membuka mata dari tidur maka sedetik kemudian seolah
terlihat sebuah catatan panjang akan apa yang seharusnya saya lakukan. Saya harus membaca buku x,
saya harus mulai riset saya, saya harus cuci motor, saya harus istirahat menikmati liburan sambil
nonton film, saya harus beli sepatu baru, dan hal-hal lain. Belum lagi otak saya seolah sudah disetel
untuk selalu mampu mengaitkan satu hal dengan lainnya. Misalnya saya ingat bahwa saya harus mulai
riset saya tentang bambu, maka saya akan langsung ingat bahwa saya harus ke perpustakaan jurusan,
padahal perpustakaan jurusan tidak buka ketika weekend, kemudian saya ingat bahwa saya harus
konsultasi ke dosen wali saya, yang mana beliau masih ada di australia, kemudian saya teringat bahwa
saya ada proyek rumah tinggal di palembang yang mana klien saya masih sibuk sehingga belum bisa
ada konsultasi, kemudian saya ingat bahwa handphone saya masih diservis dan masih tidak dapat
diprediksikan kapan akan selesai, dan seterusnya. Sebelum tidur pun saya dibayangi oleh hal-hal apa
yang harus saya lakukan besok. Apakah saya akan menyelesaikan buku yang saya baca? Apakah saya
akan merefresh otak saya dengan film? Apakah saya akan belajar masak? Apakah saya harus cuci
motor? Apakah saya harus pemanasan jari lagi karena saya sudah setahun tidak main gitar?
Kebiasaan lain saya yang menyusahkan diri sendiri adalah multitasking. Rasanya aneh sekali kalo
melakukan 1 hal secara intens. Misalnya, kebiasaan saya yang paling susah untuk dihilangkan adalah
makan sambil membaca. Bisa koran, majalah, ataupun buku. Karena sudah kebiasaan maka makanan
saya nggak pernah netes ke kertas. Oleh karena itu input saya bukan hanya ke perut, tapi juga ke otak.
Hal lain misalnya yaitu ketika saya membuka laptop maka saya bisa mengerjakan berbagai tugas
dalam satu waktu. Jika sebuah ide terlintas di pikiran saya maka saya harus cepat2 menuangkannya,
jika tidak maka akan langsung hilang. Oya, saya adalah orang yang sangat pelupa. Oleh karena itu
penting sekali untuk menuliskan ide2 saya.
Saya ingin sekali menjadi orang yang fokus. Perhatian saya selalu terpecah, saya sulit konsentrasi.
Padahal saya setuju dengan paham lebih baik mengetahui 1 hal secara mendalam daripada banyak hal
tapi dangkal. Tapi entah mengapa susah sekali mempraktekkannya. Saya ingin sekali punya
spesialisasi dalam bidang yang saya tekuni ini, misalnya spesialisasi di desain interior, sejarah
arsitektur, atau mungkin energi bangunan. Tapi memang dasarnya saya ini orangnya selalu ingin tahu,
semuanya ingin saya masuki. Semua literatur saya baca, semua mata kuliah saya ikuti. Akhirnya
sekarang saya bingung sendiri harus ke mana. Nah lo, saya jadi ingat lagi sama dosen wali saya yang
lagi ada di Australia.
Dan saya sadar akhir2 ini saya jadi merepotkan banyak orang. Saya jadi linglung, saya merasa hampa,
tatapan saya kosong, saya semakin mudah migrain dan sesak napas, saya jadi semakin bingung. Dan
saya sadar tidak ada yang mampu menolong saya selain saya sendiri, karena bahkan untuk
menceritakan hal ini ke orang lain pun saya tidak menemukan kata2 serta metode yang pas. Saya
mencoba membaca buku2 yang inspiratif, jadinya malah saya semakin bingung dan otak saya serasa
mau meledak. Ketika saya mencoba untuk menyegarkan diri saya merasa hal itu hanya sementara.
Selesai bersenang-senang, ketika pulang saya teringat lagi akan beban-beban saya. Mungkin kuncinya
adalah tidak menganggapnya sebagai beban. Memang hal-hal yang saya pikirkan adalah hal yang saya
sukai, namun bukan itu masalahnya. Masalahnya bukan terletak di apa yang saya pikirkan, namun
berapa yang saya pikirkan. Saya membicarakan masalah kuantitas. Bobot. Saya menyukai bidang studi
saya, saya menyukai bahan bacaan saya, namun rasanya semua itu terlalu banyak. Saya tidak bisa
menyaring mana2 yang penting, yang signifikan, yang mendesak. Saya merasa terpacu dengan waktu,
Saya harus melakukan semuanya. Demi apa? Entahlah. Kepuasan? Kelegaan? Penghargaan? Saya
sendiri juga ragu.
Apakah saya sangat bersalah ketika suatu hari saya gagal dan orang menyalahkan saya karena mereka
merasa terbebani oleh saya? Demikian beban-kah saya ini? Inilah sifat alami Libra yang saya benci,
selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain. Maka ketika orang lain marah kepada saya, kesal,
kecewa, serta bentuk emosi tidak menyenangkan lain, saya bisa jatuh terpuruk sangat dalam.
Terkadang saya ingin menjadi orang yang apatis, cuek saja terhadap pendapat orang lain. Tapi jika
orang lain di sini adalah orang yang saya sayangi, orang-orang yang dekat dengan saya, maka saya
sangat sulit untuk mengacuhkan mereka. Karena dari mereka lah saya mendapat energi positif, dari
mereka lah saya mendapat simpati dan dukungan yang saya perlukan utnuk bergerak maju. Dan jika
kini mereka memberikan timbal balik yang negatif, saya merasa sangat bersalah karena telah
mengecewakan mereka. Kata Pak Galih dosen saya, manusia disebut makhluk sosial karena manusia
butuh diingatkan. Manusia bisa lupa, melakukan kesalahan, jatuh. Di sinilah peran sosial manusia
sebagai sesama yang mengingatkan, membantu, dan bergerak bersama menuju arah yang lebih baik.
Apakah saya sangat naif karena mengaharapkan semua orang memiliki paham yang sama dengan
saya?
Jika saya sudah sampai pada titik ini maka saya sadar bahwa memang saya tidak bia menggantungkan
diri kepada orang lain. Kata orang saya sudah besar, maka saya harus bisa bertahan dan tetap
melangkah maju meskipun tidak ada yang membackup saya. Setidaknya saya berusaha. Toh orang lain
juga tidak mengerti jalan pikiran saya, maka saya yang harus mencari jawaban atas pertanyaan2 saya.
To quench my thirst.
Mungkin saatnya bagi saya untuk menetapkan tujuan. Tujuan hidup? Mungkin terlalu jauh, namun
mengingat bahwa saya kini sudah berkepala dua rasanya sudah tidak pantas lagi jika saya masih
bermain-main sambil mengandalkan uang saku orang tua. Saya ingin belajar. Saya ingin cari uang. Saya
ingin dihargai keluarga saya. Saya ingin dapat pengakuan. Saya ingin berguna bagi sesama. Saya tidak
ingin jadi parasit.
Saatnya menyusun kembali daftar bacaan. Saatnya menyusun kembali tujuan awal. Saatnya mencari
motivasi. Saatnya bergerak. Saatnya mencoba bertahan dari godaan-godaan sesaat yang tidak penting.
Kata Winston Churchill "We make a living by what we get, we make a life by what we give." Kata Albert
Pike (yang udah diterjemahin) "Sesuatu yg kita lakukan hanya untuk diri kita sendiri akan mati bersama
kita; sesuatu yg kita lakukan untuk orang lain dan dunia akan bertahan dan abadi."
saya, tugas saya, jati diri saya, identitas saya, hak saya. Mungkin terdengar terlalu duniawi, tapi
kenyataan bahwa saya harus mengingat dan melakukan sebuah agenda yang akan saya lakukan setiap
hari membuat saya bingung. Setiap saya membuka mata dari tidur maka sedetik kemudian seolah
terlihat sebuah catatan panjang akan apa yang seharusnya saya lakukan. Saya harus membaca buku x,
saya harus mulai riset saya, saya harus cuci motor, saya harus istirahat menikmati liburan sambil
nonton film, saya harus beli sepatu baru, dan hal-hal lain. Belum lagi otak saya seolah sudah disetel
untuk selalu mampu mengaitkan satu hal dengan lainnya. Misalnya saya ingat bahwa saya harus mulai
riset saya tentang bambu, maka saya akan langsung ingat bahwa saya harus ke perpustakaan jurusan,
padahal perpustakaan jurusan tidak buka ketika weekend, kemudian saya ingat bahwa saya harus
konsultasi ke dosen wali saya, yang mana beliau masih ada di australia, kemudian saya teringat bahwa
saya ada proyek rumah tinggal di palembang yang mana klien saya masih sibuk sehingga belum bisa
ada konsultasi, kemudian saya ingat bahwa handphone saya masih diservis dan masih tidak dapat
diprediksikan kapan akan selesai, dan seterusnya. Sebelum tidur pun saya dibayangi oleh hal-hal apa
yang harus saya lakukan besok. Apakah saya akan menyelesaikan buku yang saya baca? Apakah saya
akan merefresh otak saya dengan film? Apakah saya akan belajar masak? Apakah saya harus cuci
motor? Apakah saya harus pemanasan jari lagi karena saya sudah setahun tidak main gitar?
Kebiasaan lain saya yang menyusahkan diri sendiri adalah multitasking. Rasanya aneh sekali kalo
melakukan 1 hal secara intens. Misalnya, kebiasaan saya yang paling susah untuk dihilangkan adalah
makan sambil membaca. Bisa koran, majalah, ataupun buku. Karena sudah kebiasaan maka makanan
saya nggak pernah netes ke kertas. Oleh karena itu input saya bukan hanya ke perut, tapi juga ke otak.
Hal lain misalnya yaitu ketika saya membuka laptop maka saya bisa mengerjakan berbagai tugas
dalam satu waktu. Jika sebuah ide terlintas di pikiran saya maka saya harus cepat2 menuangkannya,
jika tidak maka akan langsung hilang. Oya, saya adalah orang yang sangat pelupa. Oleh karena itu
penting sekali untuk menuliskan ide2 saya.
Saya ingin sekali menjadi orang yang fokus. Perhatian saya selalu terpecah, saya sulit konsentrasi.
Padahal saya setuju dengan paham lebih baik mengetahui 1 hal secara mendalam daripada banyak hal
tapi dangkal. Tapi entah mengapa susah sekali mempraktekkannya. Saya ingin sekali punya
spesialisasi dalam bidang yang saya tekuni ini, misalnya spesialisasi di desain interior, sejarah
arsitektur, atau mungkin energi bangunan. Tapi memang dasarnya saya ini orangnya selalu ingin tahu,
semuanya ingin saya masuki. Semua literatur saya baca, semua mata kuliah saya ikuti. Akhirnya
sekarang saya bingung sendiri harus ke mana. Nah lo, saya jadi ingat lagi sama dosen wali saya yang
lagi ada di Australia.
Dan saya sadar akhir2 ini saya jadi merepotkan banyak orang. Saya jadi linglung, saya merasa hampa,
tatapan saya kosong, saya semakin mudah migrain dan sesak napas, saya jadi semakin bingung. Dan
saya sadar tidak ada yang mampu menolong saya selain saya sendiri, karena bahkan untuk
menceritakan hal ini ke orang lain pun saya tidak menemukan kata2 serta metode yang pas. Saya
mencoba membaca buku2 yang inspiratif, jadinya malah saya semakin bingung dan otak saya serasa
mau meledak. Ketika saya mencoba untuk menyegarkan diri saya merasa hal itu hanya sementara.
Selesai bersenang-senang, ketika pulang saya teringat lagi akan beban-beban saya. Mungkin kuncinya
adalah tidak menganggapnya sebagai beban. Memang hal-hal yang saya pikirkan adalah hal yang saya
sukai, namun bukan itu masalahnya. Masalahnya bukan terletak di apa yang saya pikirkan, namun
berapa yang saya pikirkan. Saya membicarakan masalah kuantitas. Bobot. Saya menyukai bidang studi
saya, saya menyukai bahan bacaan saya, namun rasanya semua itu terlalu banyak. Saya tidak bisa
menyaring mana2 yang penting, yang signifikan, yang mendesak. Saya merasa terpacu dengan waktu,
Saya harus melakukan semuanya. Demi apa? Entahlah. Kepuasan? Kelegaan? Penghargaan? Saya
sendiri juga ragu.
Apakah saya sangat bersalah ketika suatu hari saya gagal dan orang menyalahkan saya karena mereka
merasa terbebani oleh saya? Demikian beban-kah saya ini? Inilah sifat alami Libra yang saya benci,
selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain. Maka ketika orang lain marah kepada saya, kesal,
kecewa, serta bentuk emosi tidak menyenangkan lain, saya bisa jatuh terpuruk sangat dalam.
Terkadang saya ingin menjadi orang yang apatis, cuek saja terhadap pendapat orang lain. Tapi jika
orang lain di sini adalah orang yang saya sayangi, orang-orang yang dekat dengan saya, maka saya
sangat sulit untuk mengacuhkan mereka. Karena dari mereka lah saya mendapat energi positif, dari
mereka lah saya mendapat simpati dan dukungan yang saya perlukan utnuk bergerak maju. Dan jika
kini mereka memberikan timbal balik yang negatif, saya merasa sangat bersalah karena telah
mengecewakan mereka. Kata Pak Galih dosen saya, manusia disebut makhluk sosial karena manusia
butuh diingatkan. Manusia bisa lupa, melakukan kesalahan, jatuh. Di sinilah peran sosial manusia
sebagai sesama yang mengingatkan, membantu, dan bergerak bersama menuju arah yang lebih baik.
Apakah saya sangat naif karena mengaharapkan semua orang memiliki paham yang sama dengan
saya?
Jika saya sudah sampai pada titik ini maka saya sadar bahwa memang saya tidak bia menggantungkan
diri kepada orang lain. Kata orang saya sudah besar, maka saya harus bisa bertahan dan tetap
melangkah maju meskipun tidak ada yang membackup saya. Setidaknya saya berusaha. Toh orang lain
juga tidak mengerti jalan pikiran saya, maka saya yang harus mencari jawaban atas pertanyaan2 saya.
To quench my thirst.
Mungkin saatnya bagi saya untuk menetapkan tujuan. Tujuan hidup? Mungkin terlalu jauh, namun
mengingat bahwa saya kini sudah berkepala dua rasanya sudah tidak pantas lagi jika saya masih
bermain-main sambil mengandalkan uang saku orang tua. Saya ingin belajar. Saya ingin cari uang. Saya
ingin dihargai keluarga saya. Saya ingin dapat pengakuan. Saya ingin berguna bagi sesama. Saya tidak
ingin jadi parasit.
Saatnya menyusun kembali daftar bacaan. Saatnya menyusun kembali tujuan awal. Saatnya mencari
motivasi. Saatnya bergerak. Saatnya mencoba bertahan dari godaan-godaan sesaat yang tidak penting.
Kata Winston Churchill "We make a living by what we get, we make a life by what we give." Kata Albert
Pike (yang udah diterjemahin) "Sesuatu yg kita lakukan hanya untuk diri kita sendiri akan mati bersama
kita; sesuatu yg kita lakukan untuk orang lain dan dunia akan bertahan dan abadi."
Langganan:
Postingan (Atom)